Membaca Allamungang Batu sebagai Teks Komunikasi Budaya
![]() |
| Situs Bersejarah Allamungan Batu di Luyo, Sulawesi Barat (Foto: kompadansamandar, telah diedit) |
Dalam kajian komunikasi budaya, ruang dan artefak tidak cukup
dipahami sekedar sebagai objek material. Lebih dari itu, sejatinya ia dipahami sebagai medium
penyampai makna. Kebudayaan berkomunikasi melalui simbol, ritus, dan penanda
ruang yang merekam serta mentransmisikan nilai-nilai kolektif.
Situs Allamungang Batu di Luyo, Kabupaten Polewali Mandar,
merupakan salah satu contoh penting bagaimana artefak budaya berfungsi sebagai
teks komunikasi yang hidup dalam memori sosial masyarakat Mandar. Situs ini merupakan simbol perjanjian sejumlah kerajaan Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajaan di wilayah
pegunungan) dan Pitu Baqbana
Binanga (tujuh kerajaan
di wilayah hulu).
Selama ini, situs-situs budaya lokal kerap dibaca dari sudut
pandang sejarah atau arkeologi semata. Padahal, pendekatan komunikasi budaya
membuka ruang tafsir yang lebih luas. Pendekatan komunikasi budaya mengajak
kita menyelami bagaimana situs tersebut “bercakap”, pesan apa yang
dikandungnya, serta bagaimana pesan itu diproduksi, diwariskan, dan terus ditafsirkan
ulang oleh masyarakatnya.
Dalam konteks ini, Allamungang Batu dapat dipahami sebagai
teks simbolik yang mengomunikasikan nilai persatuan, legitimasi sosial, dan
pandangan kosmologis masyarakat Mandar.
Dalam kerangka semiotika Charles Sanders Peirce, kebudayaan
dapat dibaca sebagai sistem tanda (sign system). Artefak budaya seperti
Allamungang Batu berfungsi sebagai representamen yang merujuk pada realitas
sosial tertentu (object), serta menghasilkan makna dalam benak komunitas
pendukungnya (interpretant).
Dengan demikian, situs ini tidak hanya menyimpan sejarah,
tetapi menjalankan fungsi komunikasi yang aktif dan berkelanjutan.
Allamungang Batu sebagai Medium Komunikasi Nonverbal
Komunikasi budaya tidak selalu berlangsung secara verbal.
Banyak pesan paling mendasar dalam masyarakat tradisional justru disampaikan
melalui simbol nonverbal yang bersifat permanen. Batu dalam kebudayaan Mandar
bukan sekadar benda alam, melainkan simbol keteguhan, keabadian, dan kesetiaan
pada ikrar.
Karenanya,
keberadaan Allamungang Batu sebagai situs fisik mengandung pesan komunikasi
yang bersifat implisit namun kuat.
Sebagai medium nonverbal, Allamungang Batu berfungsi menyampaikan pesan tentang pentingnya kesepakatan dan keteraturan sosial. Pesan ini tidak disampaikan melalui teks tertulis, melainkan melalui keberadaan ruang simbolik yang disepakati bersama.
Setiap orang yang mengenal situs ini memahami
bahwa dua batu yang disatukan (assitalliang) tersebut
merepresentasikan peristiwa penting dalam sejarah sosial Mandar. Dengan kata
lain, situs ini bekerja sebagai “pesan yang membeku”, tetapi tetap aktif dimaknai terus-menerus.
Dalam klasifikasi tanda Peirce, Allamungang Batu dapat
dibaca secara ikonik (keteguhan batu menyerupai keteguhan ikrar), indeksikal
(kehadirannya menunjuk langsung pada peristiwa historis), dan terutama
simbolik, karena maknanya bergantung pada konvensi budaya Mandar. Tanpa sistem
makna tersebut, batu hanyalah objek alam biasa.
Dimensi Komunikasi Sosial-Politik
Dalam perspektif komunikasi budaya, situs Allamungang Batu juga dapat dibaca sebagai medium komunikasi sosial-politik. Ia merepresentasikan narasi tentang pembentukan konsensus dan tata kelola kehidupan bersama. Nilai-nilai seperti musyawarah, perjanjian, dan kesetaraan relasi antar kelompok kekuasaan terkomunikasikan melalui simbol batu yang berdiri rapat bersanding (assitalliang).
Situs ini berfungsi sebagai alat legitimasi sosial. Ia menegaskan bahwa tatanan Mandar tidak dibangun atas dominasi sepihak, melainkan melalui kesepakatan bersama yang dihormati lintas generasi. Dalam konteks ini, Allamungang Batu tidak hanya menyimpan memori masa lalu, tetapi juga menjadi rujukan normatif bagi kehidupan sosial masa kini.
Dalam perspektif komunikasi simbolik, simbol berfungsi
menormalkan nilai tertentu agar diterima sebagai kebenaran bersama. Allamungang
Batu bekerja sebagai simbol legitimasi yang memberi otoritas moral pada nilai
adat.
Proses ini menunjukkan bahwa komunikasi tidak hanya
menyampaikan pesan, tetapi membentuk struktur kekuasaan dan kepatuhan sosial.
Allamungang Batu dan Komunikasi Spiritual
Selain dimensi sosial-politik, Allamungang Batu juga
memiliki makna spiritual yang penting. Dalam kosmologi Mandar, relasi antara
manusia, alam, dan leluhur terjalin secara erat. Situs budaya dipahami sebagai
ruang sakral yang menjadi penghubung antara dunia profan dan dunia leluhur. Dalam hal ini, Allamungang
Batu berfungsi sebagai media komunikasi transendental.
Pendekatan komunikasi budaya memandang sakralitas ini
sebagai strategi penguatan pesan. Nilai adat yang dilekatkan pada ruang sakral
memiliki daya ikat yang lebih kuat dibandingkan pesan rasional semata.
Dalam kerangka Peirce, dimensi ini dapat dipahami sebagai
interpretant kolektif spiritual, yakni makna yang terbentuk bukan secara
individual, melainkan
melalui pengalaman budaya bersama. Sakralitas memperkuat efektivitas komunikasi
karena pesan tidak hanya dipahami secara kognitif, tetapi diyakini secara moral
dan emosional.
Teks Budaya, Komunikasi Ritual, dan Ingatan Kolektif
Allamungang Batu dapat dipahami sebagai teks budaya yang
membentuk dan memelihara ingatan kolektif masyarakat Mandar. Situs ini menjadi
pusat narasi lisan yang menghubungkan generasi masa kini dengan masa lalu.
Proses komunikasi antargenerasi berlangsung melalui cerita, penjelasan adat,
dan praktik budaya yang berpusat pada situs tersebut.
Dalam perspektif komunikasi ritual (James William Carey), komunikasi tidak
terutama berfungsi menyampaikan informasi baru, melainkan mempertahankan
komunitas dan keyakinan bersama. Setiap penceritaan ulang tentang Allamungang
Batu adalah tindakan ritual yang mereproduksi makna dan identitas Mandar.
Membaca Allamungang Batu sebagai teks komunikasi budaya
memperlihatkan bahwa situs ini bukan sekadar peninggalan sejarah, melainkan
medium komunikasi multidimensi. Ia mengomunikasikan nilai sosial, legitimasi
politik, pandangan spiritual, dan ingatan kolektif masyarakat Mandar secara
simultan.
Dengan pendekatan semiotika Peirce yang diperkuat komunikasi
ritual dan simbolik, Allamungang Batu dapat dipahami sebagai sistem tanda
budaya yang aktif dan berkelanjutan.
Pendekatan ini menegaskan bahwa pelestarian situs budaya tidak hanya bermakna menjaga artefak fisik, tetapi juga menjaga keberlanjutan sistem komunikasi dan kekayaan makna yang membentuk identitas masyarakat Mandar.
Madatte, 20 Desember 2025
Komentar