Halaman

Rabu, 03 Mei 2023

PANOPTICON, RUANG DAN MALU

Oleh: Hamdan eSA

Skema Penjara Panopticon Jeremy Bentham
Gambar: wondriumdaily.com

Pada akhir abad delapan belas (1791), seorang filosof dan sosiolog inggris, Jeremy Bentham menggagas dan mengembangkan sebuah skema penjara yang efektif. Skema ini disebutnya “panopticon”. Konon panopticon dikaitkan dengan sosok gigant dalam mitologi Yunani yakni Argus Panoptin, raksasa yang menjadi hamba Dewa Hera. Argus memiliki seratus mata, dan dengan itu ia memiliki kemampuan pengamatan serta pengawasan sangat akurat. Dalam keadaan tidur pulas pun sebagian matanya masih dapat terbelalak dan bekerja normal. Dari kemampuannya inilah, nama Argus ditambahkan kata Panoptin; “pan” berarti everything, dan “optin” berarti optic, hal-hal yang terkait dengan mata.

Penjara panopticon memungkinkan system penjagaan tunggal dapat melakukan pengamatan serta pengawasan terhadap seluruh narapidana. Tetapi di pihak lain, seluruh narapidana tidak dapat mengetahui serta memastikan apakah mereka sedang dalam pengamatan dan pengawasan dari sang penjaga atau tidak. Dengan kenyataan ketidak-tahuan itu, psyche para narapidana tanpa sadar dipaksa untuk menyadari bahwa mereka sedang diawasi setiap saat. Secara efektif mereka terpaksa mengendalikan sikap dan prilakunya sendiri terus-menerus sepanjang waktu.

Bentham menggambarkan panopticon sebagai “model baru untuk memperoleh kekuasaan pikiran atas pikiran”. Bahwa menguasai manusia cukup dengan cara mengendalikan dan menggiring pikirannya. Pada kesempatan lain Bentham menggambarkan penjara panopticon sebagai “pabrik penggilingan untuk menggiling penyamun yang jujur”.

Salah satu yang menarik dari konsepsi Bentham adalah efek psikologis yang ditimbulkannya, yakni; merasa diawasi setiap saat dan selanjutnya memaksa orang untuk mengontrol sikap dan prilakunya sendiri, sesuai yang dikehendaki oleh pengendali kuasa, sehingga menciptakan efek disiplin dan stabilitas di berbagai aspek. 

Efek inilah yang selanjutnya coba dikembangkan oleh Michel Foucault tahun 1975 dalam sebuah karyanya; Dicipline and Punishment. Foucault mengembangkannya dari ruang penjara ke ruang publik semisal ruang perkotaan guna menerapkan bentuk-bentuk pendisiplinan dalam masyarakat yang ditujukan buat kepentingan tertentu.

Melihat efeknya, konsepsi panopticon ini sesungguhnya pernah sukses diterapkan selama 32 tahun oleh rezim orde baru. Stabilitas nasional dapat tumbuh di Indonesia dalam konstruk sosiol politik yang sangat panopticonisme. Karena takut dan merasa terawasi oleh kekuasaan, setiap orang pada masa itu harus mampu mengontrol tutur dan lakunya yang bisa saja tiba-tiba ditafsir oleh penguasa sebagai tindak subversive, sebagai bagian dari upaya untuk menjatuhkan kekuasaan sah, dan sebagainya. Setiap orang harus mampu berlaku jujur atau setidaknya dapat dinilai jujur di hadapan kekuasaan yang memiliki kemampuan awas dan pantau melebihi jangkau pandang seribu mata sang gigant, Argus Panoptin.

Sayangnya sikap jujur dan self control tersebut lahir dari rasa takut, lahir dari pengawasan yang mengintimidasi. Tidak lahir dari sebuah kesadaran murni. Tidak tumbuh dari akar kuat yang menghujam ke kedalaman jiwa masyarakatnya. Sehingga era reformasi yang tumbuh setelah menumbangkannya, lebih nampak sebagai era euphoria dan hysteria para penghuni penjara yang menselebrasikan kebebasan di atas puing reruntuhan tembok panopticon.

Salah satu karakter panopticon yakni mata-mata, dapat ditemukan di sekitar kehidupan anda. Biasanya disekitar anda ada yang menjadikan dirinya sebagai alat pengawas dari kekuasaan. Dan semua hasil temuannya dilaporkan kepada boss sebagai pusat pengendali. Karena itu, sesekali di sekitar anda kadang muncul karakter "tukang lapor". Selain itu, karakter panopticon juga tergambar pada sikap "kepo" (Knowing Every Particular Object)segara urusan ingin ditahu dan menjadikan hal tersebut sebagai bagian dari urusannya.

Kini evolusi informasi dan komunikasi dengan mudah mengambil alih konsepsi panopticon. Pada kota-kota besar di setiap ruang yang dilalui, secara tidak sadar kita sedang berada dalam pengamatan intensif dari CCTV, GPS, microchip, alat sadap, dan lain-lain. Nyaris tak ada ruang yang tak mungkin terjangkau alat pengintip ini, yang dikendalikan dari sebuah sentral pengawasan dan kerap tidak diketahui publik. Senang atau tidak, di hadapan peralatan-peralatan inovatif ini (digital panopticon) ruang dan waktu beserta segala jenis isinya, semua berstatus sama; “mencurigakan”.

Inovasi-inovasi teknologi panopticon kontemporer sesungguhnya hadir sebagai konsekwensi logis dari perkembangan kota yang berlari dua kali lebih cepat melebihi perubahan-perubahan paradigma serta konsep-konsep perencanaan pengelolaan ruang dan waktu. 

Kota telah berubah menjadi tatanan ruang dan waktu yang berwajah paradox; wajahnya mengesankan daya pesona serta daya pukau yang luar biasa memikat dan inilah yang membuat banyak orang dapat betah bertahan hidup di dalamnya. Namun di saat yang sama juga mengesankan teror dan ketakutan besar atas segala bentuk tindak kejahatan dan kekerasan yang setiap saat mengintai.

Iwan Fals menyebut kota sebagai "belantara liar dari yang terliar, belantara akal yang kuat berakar menjurai di depan mata dan siap menjerat leher kita". Kathleen M. Adams, seorang professor antropologi di Loyola University Chicago menyebut kota sebagai Urban Jungle terutama bagi kota-kota yang berkategori global city

Dapatkah teknologi panopticon membantu kita mengatasi berbagai bentuk teror semisal begal atau geng motor?

Konsepsi “malu” yang sayangnya kini nyaris punah, agaknya menjadi sangat penting dalam menata ruang-ruang sosiologis. Sebab di dalam malu itulah biasanya terkandung kesadaran ilahi, ada kehadiran “Sang Maha Mengawasi” yang kekuatan dan kuasanya melebihi konsepsi panopticon atau kemampuan sang gigant Argus Panoptin. 

Samata, 02 Oktober 2015

Telah terbit di koran.tempo.co, Jumat 16 Oktober 2015