Halaman

Kamis, 17 Agustus 2023

Election dan Imajinasi "Orang Baik"

Oleh:  Hamdan eSA



Ada sebuah ungkapan amat menarik dari seorang saintis paling beken seantero dunia, Albert Einstein, yang menurut saya ungkapan ini merupakan salah satu ungkapan terindah; “Imagination is more important than knowledge. Knowledge is limited. Imagination encircles the world”; imajinasi lebih penting dari pengetahuan. Pengetahuan  itu terbatas. Sedang imajinasi melingkupi dunia.

Bukankah temuan-temuan para ilmuan jenius selalu di awali oleh imaginasi? Orville Wright dan Wilbur Wright lebih awal berimajinasi tentang sebuah benda yang dapat terbang dalam jangka waktu tertentu. Lalu, dengan sejumlah eksperimen mereka menyusun teori dan membangun pengetahuan. Maka terciptalah pesawat terbang. Demikian pula dengan saintis lainnya semisal; Rudolf Diesel, Blaise Pascal, Einstein, dan lain-lain.

Bukankah karya-karya seni dunia yang tercatat dalam sejarah peradaban manusia, tercipta melalui kekuatan imajinasi? Sebutlah; Monalisa, karya lukis Leonardo Davinci; Hamlet, karya drama William Shakespear; dan lain sebagainya. Tiada satu pun karya seni yang tidak berawal dari imajinasi.

Yasraf dalam mengutip Gilbert Ryle, menjelaskan terma imajinasi --berasal dari kata image-- adalah mekanisme psikologis manusia dalam melihat, melukiskan, membayangkan, atau memvisualkan sesuatu di dalam struktur kesadaran, yang menghasilkan sebuah citra (image) pada pikiran.

Imajinasi dengan demikian merupakan struktur mental menyangkut bagaimana seseorang membuat lukisan atau potret dunia (world picture) yang di dalamnya terkandung konsepsi, representasi, dan makna dunia melalui sudut pandang, perasaan, logika, dan keyakinan tertentu.

Lukisan atau potret sesuatu di dalam mental itu sesungguhnya adalah bayang-bayang. Karena itu, imajinasi juga merupakan bayang-bayang. Yang dibayangkan bisa bersifat internal yakni; diri sendiri sebagai individu, kelompok, umat, bangsa, dan lain-lain. Bayangan internal diri ini disebut self imagination.

Bisa pula yang dibayangkan itu bersifat eksternal, yakni segala yang berada di luar; diri lain, orang lain, kelompok lain, masyarakat lain, agama lain, makhluk lain, atau realitas “yang lain”. Bayangan eksternal ini disebut other imaginations.

Persoalannya, sehebat apapun imajinasi (citra, bayangan) yang terbangun, ia tetap berada dalam dunia mental individu, ia tak terjangkau oleh kemampuan kolektif panca indera khalayak (public).

Sebab itulah setiap individu senantiasa memproduksi tanda (sign) yang mencitrakan dirinya sendiri (self image), dan ditambatkan pada tubuh, gaya, prilaku, media, dan lain sebagainya. Sign dapat berupa icon, index, atau symbol, agar khalayak dapat memiliki deskripsi tentang self image sang individu.

Singkatnya, self image diproduksi oleh individu atau kelompok untuk merepresentasikan dirinya sendiri melalui sign dan ditangkap oleh panca idera khalayak. Lalu dengan segera khalayak melahirkan others imaginations-nya masing-masing tentang individu tadi.

Pada proses inilah permainan imajinasi dapat dimulai, imajinasi dapat dikonstruksi sedemikian hebat. Di sinilah imajinasi tentang “orang baik”, “yang terbaik”, “paling layak”, dan lain-lain yang serupa dapat diciptakan untuk merebut hati khalayak.

Lalu bagaimana jika imajinasi masuk ke dalam konteks pemilihan pemimpin (election)? Tradisi pemilihan pemimpin di Indonesia masih meniscayakan satu kriteria ideal, yakni; “orang baik”. Karakter baik inilah yang menjadi penilaian ideal keterpilihan (electability) seseorang calon. Dengan asumsi bahwa sebuah bangsa atau daerah dapat hidup dengan baik jika dipimpin oleh orang baik pula. Kualitas orang baik ini tentunya mencakup seluruh aspek moral, intelektual dan agama.

Namun dalam sistem demokrasi berbicara beda. Yang menjadi syarat utama adalah “terpilih secara mayoritas”, bukan moral, intelektual, dan agama. Artinya, suara mayoritas jauh lebih penting dari kualitas “orang baik” (moral, inteleksi, dan agama). Karenanya dalam posisi itu, “orang baik” hanya cocok menjadi sekedar instrumen pembantu pencapaian suara mayoritas, sejajar dengan alat-alat lainnya semisal parpol dan uang. Alat-alat inilah yang menjadi arena seksi bagi permainan imajinasi.

Hasil Jejak Pendapat Kompas yang dirilis 15 Januari 2018 baru lalu menyebutkan bahwa terpilihnya calon Kepala Daerah disebabkan empat hal yakni: memiliki kejujuran, gaya kepemimpinan yang kuat, religi yang sama, dan merakyat. Sepanjang kriteria “orang baik” masih menjadi alasan populer dan favorit bagi khalayak dalam memilih figur pemimpin, selama itu pula imajinasi “orang baik” menjadi relevan serta urgen. Dan karenanya, imajinasi "orang baik" menjadi alat bermain yang mengasikkan.

Imajinasi “orang baik” perlu didesain dan di(re)konstruksi sedemikian rupa untuk merebut hati khalayak. Maka tidak heran jika setiap kali menjelang hajatan pemilihan pemimpin, bak jamur di musim hujan, bermunculan sejumlah figur “orang baik”. Kompetisi orang baik tak dapat terelakkan. Lalu, permainan naik ke level imajinasi “orang terbaik”.

Games imajinasi atau permaianan bayang-bayang “orang terbaik” yang bertujuan membentuk citra serba baik, hanya bisa terhujam penuh ke lubuk terdalam khalayak jika didukung oleh beragam proses “simulasi tanda”. Jean Paul Baudrillard, seorang filosof Prancis, dalam bukunya “Simulacres et Simulation”, mendeskripsikan tiga tahapan pokok yang saling berjalin dalam dunia simulakrum tersebut.

Pertama; simulakra menunjuk pada reproduksi (duplikasi) oleh sang subjek. Dalam tahapan ini, antara realitas yang sesungguhnya dengan duplikasinya masih dapat dibedakan satu sama lain. Khalayak masih dapat membedakan antara; iklan tentang orang terbaik dengan orang baik sungguhan.

Kedua; simulasi yang berarti aktivitas, pekerjaan atau tingkah tiruan. Tahapan ini, realitas referensi terengkuh takluk oleh replikasi, keduanya melebur menghilangkan batasan hingga tak dapat dibedakan, yang palsu menjadi betul-betul asli. Khalayak tak dapat membedakan mana aktivtas, pekerjaan, atau tingkah tiruan dengan mana sungguhan.

Ketiga; hiperrealitas yakni suatu kondisi dimana realitas simulasi tumbuh menjadi realitas baru. Realitas referensi dan realitas replika atau palsu yang telah menyatu itu, kemudian hilang dan mewujud sebagai realitas baru. Realitas yang melampaui realitas, realitas berlapis yang lapisannya tanpa batas-batas. Khalayak dengan penuh kesadaran nurani menemukan realitas baru.

Meski imajinasi lebih penting dari pengetahuan, tetapi bermain imajinasi dalam hajatan pemilihan pemimpin bangsa atau pemimpin daerah rasa-rasanya adalah permainan beresiko tinggi (high risk). Para pengelola permainan imajinasi, memainkan sejumlah bayang misalnya; manusia setengah dewa, figur kualitas terbaik, bangsa maju, masyarakat sejahtera, merakyat, egaliter, dan sebagainya. Khalayak lalu menjadi bagian aktif dalam permainan imajinasi itu karena terperangkap dalam jebak pesona imajiner, fantasi bayang-banyang, dan kilau citra figur terbaik.

Kini terserah kita masing-masing; mungkinkah Pemilu atau Pilkada yang rutin kita laksanakan hanya akan terus tumbuh menjadi arena permainan pesona bayang imajinasi yang mengantar kita berfantasi tentang “orang terbaik”, atau menjadi momen suci untuk menentukan masa depan yang baik? Wallahu A’lam.

 

Pernah dimuat di Harian Radar Sulbar, 26 Februari 2018