Halaman

Senin, 13 Februari 2023

TUBUH, TEKS, SEKS

 Oleh: Hamdan

 

sumber gambar; visualparadox.com

Tiga bulan terakhir (sejak tulisan ini dibuat, Juni 2016), negeri kita menampilkan wajah muram campur geram setelah secara berturut-turut melalui berbagai media, terkabar sejumlah peristiwa pemerkosaan dibarengi pembunuhan sadis terhadap korban. Yuyun dan Enho cukup menjadi sampel.

Dalam tahun 2015 sebagaimana dirilis Deutsche Welle, kekerasan seksual menurut catatan Komnas Perempuan telah mencapai 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani. Pelakunya beragam, dari ABG hingga KBT (Kakek Bau Tanah). Lalu publik mendidih, mendesakkan hukuman terberat terhadap para pelaku. Ada yang mendesakkan hukuman mati, kebiri, dengan maksud memberi efek jerah.

Bukankah kita telah cukup memiliki sejumlah perangkat regulasi dan institusi yang concern dalam bidang ini? Namun kenyataannya, tindak kekerasan seksual semakin menjadi-jadi. Ide-ide yang mendesakkan “hukuman” menakut-nakuti tidak akan menyelesaikan masalah. Hanya menebang cabangnya, tetapi pohon dan akarnya terus kokoh.

Agama bahkan telah menyiapkan perangkat hukuman yang akan menghadang pelaku pasca kematiannya kelak, yakni neraka. Begitu dahsyatnya neraka, seseorang lebih memilih mati kembali dari pada hidup dalam neraka. Di sanalah sakit, siksa dan derita sungguh-sungguh bersinambung dan awet. Laa yamuutu wa laa yahyaa; tidak hidup tapi juga tidak mati. Alam neraka yang super seram ini pun tidak ditakuti lagi oleh manusia, tidak memberikan fungsi jerah.

Tubuh bukan sekedar onggok daging biologis di mana akal, syahwat dan nyawa berumah di dalamnya. Lebih dari itu, tubuh adalah teks yang dapat dibaca oleh setiap orang dan dapat diinterpretasi dengan caranya masing-masing. Tubuh adalah instrument komunikasi sosial. Seperti apa bacaan seseorang terhadap tubuh, tergantung seperti apa pula “wajah” tubuh dihadirkan di hadapan pembacanya dan—ini yang lebih penting— tergantung apa yang mendominasi semesta pandang sang pembaca.

Terhadap pembaca yang didominasi oleh daya rasional, data-data tentang tubuh yang tertangkap panca indera langsung terserap dan terolah di ruang akal sehat, ruang kesadaran kritis. Terhadap pembaca yang didominasi oleh daya-daya fantasi, data tentang tubuh juga akan diserap dan diolah di ruang fantasi. Hasil bacaannya dapat dipastikan berbeda.

Tubuh bukan sekedar rumah bagi jiwa, tapi juga bagi syahwat yang didesain berpasangan (pairs) secara terpisah tapi saling mencari. Sebagaimana akal dan imajinasi, syahwat berserta fantasinya tidak berjenis kelamin. Tubuhlah yang berjenis kelamin berpasangan; kebudayaan menyebutnya masing-masing sebagai laki-laki dan perempuan.

Akal dan syahwat akan melakukan penyesuaian dirinya sendiri pada tubuh yang dihuninya. Akal membangun kesadaran kritis; menerima dengan alasan atau menolak dengan alasan interpretasi atas tubuh. Syahwat sifatnya menuntut keterpenuhan tanpa henti atas fantasi yang lahir dari bacaan terhadap tubuh. Syahwat terbang bersama fantasi menyerang dan mendominasi kesadaran kritis yang lemah dan membangun kesadaran fantasi.

Persoalan seks sesungguhnya adalah persoalan fantasi. Semakin intens dan jauh fantasi mengembara ke mana-mana, semakin kuat ia memberi pengaruh dominan pada syahwat. Semakin ia digelorakan, semikin pula ia menyingkirkan fungsi akal sehat, suara hati, apalagi rasa takut.

Demikianlah kata Dani Cavallaro dalam Critical and Cultural Theory; Thematic Variations, tubuh menjadi dua system representasi saling jalin-menjalin dan tumpang tindih. Tubuh di satu saat menjadi objek yang direpresentasikan diberbagai ruang dan di saat yang sama tubuh adalah sebuah organisme yang dikelola untuk merepresentasikan berbagai makna dan hasrat.

Lihatlah di sekitar kita, ada banyak tubuh berjalan bagaikan bab-bab kitab yang menyajikan narasi pembangkit fantasi. Tubuh fisik, tubuh citra, tubuh digital, tubuh kapital, tubuh gaya, tubuh komoditi, seluruhnya bermuara ke tubuh seksual. Kita sedang jelang era transisi dimana hasrat bebas lebih penting dari akal sehat. Di sinilah benih pencurian kelamin itu dapat tumbuh.

Kita hanya menghabiskan waktu dan tenaga menuntut hukuman mati atas tindak kekerasan seksual, tetapi akar masalahnya ada pada tubuh kita sendiri. Bisa jadi setiap tubuh kita turut berkontribusi terhadap penciptaan gelora fantasi dan kanal-kanal syahwat. Ramadhan adalah moment memenangkan kembali akal kritis (sadar) untuk membaca ulang tubuh kita.

Samata, 05 Juni 2016