Halaman

Selasa, 09 Januari 2024

Pendidikan dan Ummat Islam di Indonesia

Oleh: Sitti Halijah dan Ulfa Ramadhani

Sitti Halija dan Ulfa Ramadhani

Pada abad ke-7 dan 8 M, ketika Selat Malaka sudah dilalui oleh pedagang-pedagang muslim dalam pelayaran dan misi perdagangan ke berbagai negeri di Asia Timur dan Asia Tenggara. Mereka umumnya berasal dari Arab, Persia, dan India dan pada saat itu Islam telah masuk ke Indoanesia. Sesuai dengan hasil Seminar Sejarah Islam di Medan tahun 1976 dan di Aceh tahun 1980 yang berkesimpulan bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah, yakni sukitar abad ke-8 atau 9 Masehi (Sumitno, 1986:16).

Daerah yang mula-mula didatangi oleh para pedagang Muslim tersebut adalah daerah-daerah pesisir atau daerah pelabuhan, seperti pesisir Sumatera. Sedangkan sumber-sumber Barat mencatat bahwa Islam masuk ke Indonesia baru pada abad ke-13, dengan alasan ditemukannya batu nisan raja Islam pertama di Pasai tahun 1297.

Tentang jalur yang dilaui, ahli sejarah pada umumnya sepakat bahwa Islam masuk ke nusantara melalui jalur perdagangan dan dakwah dengan cara damai. Kalau pun pernah tejadi perang antara kerajaan Islam dengan kerajaan non Islam, itu harus dilihat dalam konteks geopolitik perluasan wilayah, bukan dengan tujuan Islamisasi.

Sikap Umat Islam terhadap Penjajah

Dalam sejarah penjajahan Indonesia, ada beberapa bangsa yang pernah terlibat, seperti; Portugis, Belanda, Inggris, dan Spanyol dari Barat, dan Jepang dari Timur. Tetapi dari semua bangsa itu Belandalah yang paling lama menjajah.

Umat Islam di Indonesia menganggap mereka ‘kafir’ (terutama Belanda) dan cinta tanah air adalah bagian dati iman. Perlawanan tersebut pada umumnya dipimpin oleh para Haji, Ustadz, dan Ulama.

Kuatnya perlawanan dari umat Islam terhadap penjajah menyebabkan timbulnya berbagai perlawanan seperti perang Paderi (1821-1827), perang Diponegoro ( 1821-1903), dan lain-lain.

Untuk menghadapi umat Islam, pemerintah Hondia Belanda bekerjasama dengan para kepala adat dan menggunakan lembaga adat untuk membendung pengaruh Islam di kepulauan Nusantara. Kerjasama ini tampak demikian jelas misalnya dalam perang Diponegoro, perang Paderi, dan Perang Aceh.

Orang Islam terpaksa menghadapi penjajah dan kaum adat sekaligus. Menurut Wartheim, guru besar Sejarah Asia Tenggara Universiatas Amsterdam (1971:25) bahwa perang Aceh merupakan perang rakyat yang dipimpin oleh Ulama melawan Belanda dan Hulubalang serta para pengikutnya.

Adanya sikap perlawan dari Umat Islam memaksa Belanda mengeluarkan berbagai kebijakan dalam mengelola masalah-masalah Islam yang dikenal dengan istilah Islam Politiek atau politik Islam. Politik Islam pada dasarnya bertujuan untuk memahami Islam agar dapat menguasai dan mengatur pemeluknya.

Sumber: https://ensiklopebanten.files.wordpress.com/

Sikap Penjajah Terhadap Pendidikan Islam

Pesantren sebagai pusat pendidikan Islam Tradisional mengambil sikap anti-Belanda. Mereka menanggap pemerintah kolonial sebagai pemerintah kafir yang menjajah agama dan bangsa mereka. Hingga uang yang diterima seorang sebagai gaji dari pemerintah Hindia Belanda dianggap sebagai uang haram, bahkan celana dan dasi pun dianggap haram karena karena dinilai sebagai pakaian identitas Belanda. 

Sikap konfrontasi kaum santri terhadap pemerintah kolonial ini terlihat pula pada letak pesantren di Jawa yang pada umunya di pelosok-pelosok desa yang sekaligus dijadikan sebagai basis perjuangan.

Dalam pandangan pemerintah Hindia Belanda, pemberontakan itu tidak lepas dari peranan para haji dan Ulama yang selama di Mekkah telah memperoleh ide-ide Pan-Islamisme dan membawanya pulang ke Indonesia. Maka dengan alasan demi terpeliharanya ketertiban dan keamanan, pemerintah Hindia Belanda semakin mencampuri agama Islam, terutama di bidang pendidikan. 

Pada tahun 1682 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan pengawasan terhadap pelaksanaan pendidikan/madrasah yang justru penekanannya lebih terarah membatasi kegiatan Pendidikan Islam.

Pada tahun 1832, dikeluarkan lagi peraturan Wil School Ordonantis yang menutup madrasah yang tidak memiliki izin operasional dari pemerintah Belanda dan pencekalan mengajar bagi kiai-kiai tertentu karena dianggap berbahaya terhadap kepentingan pemerintah Hindia Belanda. 

Sebelumnya muncul penetapan Ethic Politic pada tahun 1820 yang baru diberlakukan pada tahun 1907 yaitu suatu peraturan tentang perluasan pendidikan ke pedesaan yakni sekolah rakyat bagi seluruh lapisan masyarakat termasuk orang Islam.

Selain itu, ada Hollandsch-Inlandsche School (HIS) bagi murid-murid Indonesia yang berasal dari kalangan keluarga terkemuka dan disederajatkan Europrrsch Lagere School. Model pendidikan ini sebagaimana kita kenal sekarang dengan istilah sekolah umum.

Madrasah-madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang sudah memiliki akar rumput di masyarakat tidak diberikan fasilitas dalam pengembangannya, sehingga semakin terpinggir posisinya sebab pemrerintah Hindia Belanda merasa keberadaan madrasah tidak menguntungksn terhadap pengaruh dan kewibawaannya.

Dengan politik pendidikan sistem belah bambu satu diangkat dan satu diinjak, yang mana sekolah rakyat difasilitasi diberi fasilitas dalam dalam pengembangannya sedangkan madrasah tidak mendapat fasilitas. Maka terjadilah dualisme pendidikan pada masa A.Van Der Chijs menjabat Inspektur Pendidkan Belanda di Indonesia.

Posisi dualisme dalam pengelolaan pendidkan sebagai warisan dari pemerintah Hindia Belanda pada masa setelah kemerdekaan pun masih terasa, betapa besar anggaran bagi sekolah umum dibanding dengan madrasah-madrasah pondok pesantren.

Nanti di era reformasi dan otoda baru mulai terasa adanya perubahan secara signifikan ke arah persamaan dengan tampilnya pendidikan nasional dipayungi oleh Undang-Undang Sistem Pendiidkan Nasional Nomor 2 taun 1989 sebagai prolognya, dan dipermantap dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang telah disahkan oleh DPR pada tanggal 11 Juni 2003.

Tentang Penulis:

Sitti Halija
, Mahasiswa semester 1 Prodi PIAUD IAI DDI Sidrap
Ulfa Ramadhani, Mahasiswa semester 1 Prodi PIAUD IAI DDI Sidrap