Kita dan Short Video
Oleh: Hamdan eSA
Di tengah derasnya arus informasi dan derasnya kompetisi
atensi, masyarakat hari ini hidup dalam zaman yang ditandai oleh kecepatan (speedy) dan keringkasan (brevity). Kita menyaksikan sebuah
pergeseran besar dalam kebudayaan, yakni; orang lebih tertarik menonton potongan video
berdurasi ringkas
ketimbang membaca artikel panjang, mendengarkan ceramah utuh, atau menyimak
diskusi mendalam. 
Fenomena ini bukan sekadar tren media sosial, melainkan
representasi dari karakteristik zaman yang bisa disebut sebagai era instan,
visual, dan algoritmik, sebuah
masa di mana kecepatan mengalahkan kedalaman dan impresi menggeser refleksi.
Video ringkas,
seperti yang beredar di TikTok, Instagram Reels, YouTube Shorts, atau
Facebook Stories, bagaikan
gula digital yang mengaktifkan dopamin dengan cepat di dalam
otak. Ia mudah dikonsumsi, ringan, menyenangkan, dan seringkali minim tuntutan
intelektual. Tidak membutuhkan konsentrasi panjang, tidak menuntut komitmen
serius, dan tidak membawa beban pemahaman yang rumit. 
Masyarakat menemukan kenyamanan dalam konsumsi konten yang
cepat, lucu, inspiratif ringkas, atau kontroversial. Continental philosopher, Paul Virilio melalui
gagasannya tentang dromology, kecepatan menjadi salah satu elemen utama
kekuasaan dan pengaturan sosial,
bukan lagi kekayaan materi atau alat tradisional
kekuasaan. Dalam konteks hari ini, yang menguasai kecepatan dalam menyebarkan
kontenlah yang menguasai atensi publik.
Namun, fenomena ini tidak sekadar berbicara tentang gaya
menonton konten ringkas,
tetapi tentang bentuk baru kesadaran manusia. Kita sedang hidup dalam ekonomi
perhatian (attention economy), di mana perhatian atau atensi menjadi komoditas yang
diperjualbelikan. Platform digital berkompetisi bukan untuk mencerdaskan
pengguna, tetapi mempertahankan keterikatan perhatian pengguna selama mungkin. 
Algoritma bekerja secara diam-diam merancang realitas
audiovisual yang sesuai dengan preferensi emosional pengguna, bukan berdasarkan
kedalaman intelektual. Akibatnya, dunia yang kita lihat bukan lagi dunia yang
kita cari, melainkan dunia yang “disajikan” oleh mesin yang tahu apa yang kita
suka bahkan sebelum kita sadar kita menyukainya.
Fenomena ini memiliki dampak positif yang nyata. Video
ringkas berhasil menjadi medium edukasi alternatif. Banyak konten kreator yang
menyajikan pengetahuan sejarah, sains, bahasa, motivasi, atau agama dalam
format yang kreatif dan mudah diterima. Pengetahuan tidak lagi terkurung dalam
buku tebal atau ruang kuliah, tetapi meluncur dalam genggaman ponsel jutaan
orang. 
Inilah bentuk demokratisasi komunikasi, siapa pun bisa menjadi penyampai
gagasan. Selain itu, kreativitas masyarakat berkembang pesat karena dorongan
untuk menyampaikan pesan secara menarik dalam durasi terbatas. Generasi muda
mampu mengemas narasi, humor, dan pesan reflektif dalam hitungan detik. Secara
sosial, video pendek juga menyediakan hiburan ringan yang mampu mengurangi
stres dalam siklus hidup urban yang padat.
Namun di balik hal-hal positif tersebut, video ringkas membawa konsekuensi
serius terhadap cara berpikir manusia. Kecepatan konsumsi konten berpotensi
menurunkan kemampuan berpikir reflektif. Pengetahuan yang datang dalam bentuk
fragmen-fragmen kecil sulit untuk membentuk pemahaman sistemik. 
Fenomena ini dapat disebut sebagai “rasionalitas yang
terfragmentasi”, yaitu
kondisi di mana sistem rasional seseorang terpecah-pecah dalam fragmen-fragmen
kepercayaan yang tidak saling berkoheren. Hal ini pernah dikaji oleh Cristina Borgoni (2021) dalam
Rationality in Fragmented Belief Systems sebagai bagian dari gambaran ‘the
fragmented mind’
Pada saat yang sama, pengguna cenderung menyukai konten
emosional: marah, lucu,
menyentuh, atau mengejutkan, dibanding
konten rasional yang menuntut analisis. Ini menciptakan polarisasi dan
radikalisme emosional yang lebih mudah terbentuk karena diskusi rasional kalah
oleh narasi ringkas yang meledakkan perasaan.
Selain itu, video pendek menciptakan budaya ‘cepat lupa’ atau ‘cepat berlalu’. Tren berganti
begitu cepat hingga isu tertentu hanya hidup seumur viralitasnya. Realitas
sosial menjadi seperti timeline bergerak, yang tidak sempat diselami sebelum
digantikan oleh tren berikutnya. Manusia kehilangan kedalaman dalam memaknai.
Pada titik ini, filosofi hidup pun tercemar oleh kesementaraan. Alih-alih hidup
dengan kesadaran reflektif, manusia cenderung hidup berdasarkan apa yang sedang
viral hari ini.
Ekosistem video ringkas juga memperkuat struktur kekuasaan
baru: algoritma. Algoritma bukan hanya alat teknis, tetapi otoritas epistemik
baru yang menentukan jenis pengetahuan apa yang layak ditonton. Realitas kita
disusun menjadi gelembung informasi (echo chambers) yang membuat kita
hanya melihat apa yang memperkuat keyakinan kita. Dalam struktur sosial seperti
ini, kebenaran bukan lagi hasil diskusi atau argumentasi, melainkan hasil dari
“apa yang paling banyak di-like dan dibagikan”.
Lalu, bagaimana posisi manusia di dalam zaman yang seringkas
ini? Apakah kita hanya menjadi konsumen pasif dari potongan-potongan realitas
yang dangkal? Ataukah kita bisa bersikap kritis terhadap konten visual tanpa
harus menolak apalagi memusuhi
seluruh bentuk media ringkas?
Jawabannya bergantung pada kemampuan manusia menempatkan video
ringkas sebagai pintu masuk, bukan tempat menetap. Video ringkas bisa menjadi
katalis awal untuk membangkitkan rasa ingin tahu yang lebih dalam. Ia dapat
mengundang audiens untuk melanjutkan pencarian pengetahuan ke level lebih
serius: membaca buku, menonton diskusi penuh, atau merefleksikan pesan. Dengan
kata lain, video ringkas harus diposisikan sebagai “intellectual trigger” (pemicu intelektual), bukan
sebagai “pengganti intelektualitas”.
Saat ini
bukan zaman yang mesti
kita takuti, tetapi yang mesti
kita pahami. Kita tidak bisa melawan arus teknologi, tetapi kita dapat
bersikap sadar atas bagaimana ia membentuk struktur kesadaran kita. Jika
manusia mampu mengendalikan konsumsi konten secara kritis, era ini bisa menjadi
masa kebangkitan kreativitas dan keterbukaan pengetahuan. 
Namun jika kita larut sepenuhnya dalam logika kecepatan dan
keringkasan, kita akan menjadi generasi yang bergerak cepat tetapi berpikir
dangkal, tertawa tanpa makna, marah tanpa alasan, dan mengikuti arus tanpa
refleksi.
Pada akhirnya, pertarungan zaman ini adalah
pertarungan antara kedalaman dan permukaan. Video ringkas hanyalah medium;
manusialah yang menentukan apakah ia akan menjadi jembatan menuju pemahaman
atau jebakan menuju kealpaan. Di era serba ringkas
yang bising ini, yang dibutuhkan bukan hanya kecepatan tangan dalam menggulir
layar, tetapi ketenangan batin dalam menafsirkan makna.
Madatte-Polman, 25
Oktober 2025

.jpeg) 
 
 
Komentar