Halaman

Kamis, 22 September 2022

Membincang Bulan

Hamdan eSA
Pemerhati budaya dan Dewan Pembina UKM Seni Budaya eSA UIN Alauddin Makassar



Suatu hari Nashruddin Hoja, seorang yang dikenal unik dan cerdas di tradisi hikmah para sufi, berjalan menuju sebuah lembah. Dia lalu dihadang seorang penggembala yang berkata padanya; “wahai tuan, apakah anda orang yang pandai?” Nashruddin menjawab; “iya!” Penggembala berkata; “lihatlah ke lembah itu, orang-orang bergelimpangan di sana. Akulah yang membunuh mereka, karena tidak dapat menjawab sebuah pertanyaanku.”

Nashruddin lalu bertanya padanya; “apa pertanyanmu itu?” Penggembala berkata; “bulan, ketika berupa sabit, kita melihatnya kecil. Kemudian, dia menjadi besar seperti roda. Lalu, dia berubah menjadi kecil lagi dan kemudian menghilang hingga yang tampak adalah lainnya. Lantas, apa yang diperbuat oleh bulan lama?”

Nashruddin menundukkan kepalanya sejenak dan berkata; “Kasihan mereka orang-orang bodoh itu. Bulan yang lama bersembunyi karena musim hujan dan dia sedang membuat petir.” Penggembala itu lalu memeluk Nashruddin dan mencium tangannya. Dan dia berkata kepada Nashruddin; “Demi Allah, inilah jawaban yang terlintas dalam benakku.”

***

Umumnya kisah-kisah Hoja senantiasa terkesan hanya cerita lucu dan bodoh, tetapi sebenarnya memendam cakrawala hikmah yang tak dapat dicapai hanya dengan menertawakannya atau mengerutkan jidat.

Al-Haqq” (kebenaran) yang dianalogkan sebagai bulan, memiliki jalan unik untuk mencapainya. Kadang terasa jauh berkelok serta rumit. Kadang sangat dekat singkat dan simpel. Hal itu terjadi karena Al-Haqq memiliki jarak baik fisikal maupun metafisik dari manusia. Al-Haqq tidak terjangkau oleh rumus-rumus logis fisikal (ruang dan waktu) dari semesta pengembaraan akal dan pula tidak tersentuh oleh rangkaian-rangkaian pelik experiences dari semesta pengembaraan intuitif.

Sebaliknya, Al-Haqq melingkupi segalanya dan sebab itu justru dengan mudah dapat “menyentuh”, mendeskripsikan diri pada keterbatasan akal dan intuisi. Sehingga kenyataannya, Dia hanya dapat dipersepsi dan diinterpretasi oleh akal dan intuisi tanpa pernah menjangkaunya.

Hidup yang duniawi ini karenanya lebih cenderung akan dijalani berdasar pada kebenaran perseptif dan interpretatif itu. Dunia dan manusia hanya dapat mempersepsi bulan (Al-Haqq, kebenaran) melalui cahayanya, kadang sabit dan sipit, kadang bundar laksana roda, atau mungkin bak koin raksasa. Kita tak pernah dapat melihat kebulatan bulan seutuhnya. Itulah kebenaran perseptif dan interpretatif.

Lalu bagamana jika bulan dalam kisah Hoja menjadi analog Indonesia? Adakah Indonesia yang sesungguhnya? Tak seorang yang pernah menjangkaunya. Kita hanya sedang hidup dalam Indonesia yang perseptif dan interpretatif.

Tetapi yang pasti, Indonesia yang kita persepsikan dan interpretasikan sebagai sebuah bangsa dan negara ini, akhirnya memperoleh beragam defenisi. Orang-orang berkelompok berdasarkan kesamaan pandangan. Layaknya orang-orang lembah dalam kisah Hoja, ada yang mengelompokkan diri dalam “Indonesia ideal”; begitu lembut, memesona, damai tetapi jauh bertele-tele. Bak pungguk merindu bulan.

Layaknya penggembala, ada yang berkelompok di dalam “Indonesia suka-suka”; segalanya dapat dipersepsi dan diinterpretasi sesuka hati sepanjang memiliki power. Maka yang terpenting adalah kekuasaan. Sebagaimana Hoja, ada orang yang terpisah atau berkelompok dalam “Indonesia praktis dan pragmatis”. Ia dengan mudah dapat beradaptasi di dua alam; Indonesia ideal dan Indonesia suka-suka, bahkan dalam Indonesia yang benam di balik hujan dan Indonesia yang sedang memproduksi petir. Persetan dengan memikirkan hal-hal ideal dan memikirkan kuasa. Biarlah orang lain memikirkannya dan kita memanfaatkannya.

Reformasi lalu tampak semacam sebuah kondisi di mana Indonesia menjadi negeri sintesa, perkawinan sempurna dari tiga karakter dalam kisah Hoja. Jika sintesa ini hendak didefenisikan secara singkat, mungkin seperti berikut; Indonesia ideal adalah negeri multi-tafsir yang dapat diinterpretasi seluas-luasnya dan dengan kuasa dapat dimainkan dalam tindakan-tindakan praktis yang membawa manfaat langsung.

Lihatlah, dengan Pancasila, betapa kita memiliki konsep hebat dan sangat ideal tentang negara dan bangsa. Tetapi juga lihatlah di bawah bulan, betapa awan cumulonimbus sedang menyembunyikan bulan dan membuat petir yang memendam gelegar. Terlintaslah di hadapan kita Indonesia yang berkilap tapi seram. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Indonesia yang hidup lebih terampil dan terbiasa melafalkan nama Tuhan serta sekitab doa daripada mengingat apalagi mematuhi tuntunan Tuhannya. Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah Indonesia yang kaya atas cerita warisan khazanah budaya agung. Tetapi kini punya ceritanya sendiri. Persatuan Indonesia adalah Indonesia yang sepenanggungan tetapi tidak senasib. Permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan adalah Indonesia yang tidak pernah sungguh-sungguh ingin bersama-sama memikirkan untuk mencapai Indonesia. Inginnya bahwa Indonesia adalah apa yang saya pikirkan dalam masa lima tahun dan sejauh mana Anda dapat membenarkan atau mendukung pikiran saya. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah Indonesia yang seluruh harkat dan martabat rakyatnya, sama di mata uang.

Artikel ini telah tayang di tribun-timur.com pada Jumat, 13 Februari 2015, dengan judul Membincang Bulanhttp://makassar.tribunnews.com/2015/02/13/membincang-bulan?fbclid=IwAR3j7jwvxuBDZLZzwb5ibwjRdn3VwBudYdC_t3UCjFgDjzZUVqJpZEKtppo.

Jumat, 13 Februari 2015

Tidak ada komentar: