Epistemologi Klik: Cara Baru Manusia Mengetahui di Era Digital

Oleh: Hamdan eSA

Apakah manusia modern masih mencari kebenaran, atau sekadar mengklik yang paling menarik? Pertanyaan ini menandai pergeseran mendasar dalam cara manusia memperoleh pengetahuan pada era digital. 

Jika di masa lalu pengetahuan dicapai melalui proses berpikir, membaca, meneliti, dan berdialog secara mendalam, kini pengetahuan sering hadir dalam bentuk instan — hanya sejauh satu klik di layar. Tindakan klik bukan lagi sekadar gerakan jari di atas gawai, melainkan simbol dari perubahan epistemik: cara baru manusia “mengetahui” sesuatu di tengah derasnya arus informasi.

Kita hidup dalam masyarakat yang disebut oleh Jean Baudrillard sebagai masyarakat simulakra — dunia di mana representasi menggantikan realitas. Dalam konteks ini, klik menjadi gerbang bagi simulasi pengetahuan. Manusia modern percaya ia mengetahui sesuatu karena telah mengklik tautan, membaca unggahan, atau menonton video pendek, meskipun tanpa proses validasi rasional ataupun pemahaman mendalam. 

Dari sinilah istilah epistemologi klik dapat dipahami: sebuah cara mengetahui khas masyarakat digital yang ditandai oleh kecepatan, instanitas, dan ketergantungan pada algoritma.

Dari Epistemologi Klasik ke Epistemologi Digital

Epistemologi, secara etimologis berasal dari kata Yunani epistēmē (pengetahuan) dan logos (kajian atau teori). Ia membahas pertanyaan mendasar: apa yang disebut pengetahuan, bagaimana manusia mengetahuinya, dan bagaimana membedakan antara kebenaran dan kesalahan. Dalam sejarah filsafat, epistemologi telah mengalami berbagai fase perubahan.

Pada masa klasik, Plato memandang pengetahuan sebagai justified true belief — keyakinan yang benar dan memiliki pembenaran rasional. Descartes kemudian menekankan rasio sebagai sumber utama pengetahuan, dengan metode keraguannya yang terkenal. 

Di sisi lain, kaum empiris seperti Locke dan Hume menganggap pengalaman inderawi sebagai dasar pengetahuan. Abad ke-20 membawa arus konstruktivisme dan postmodernisme, yang menegaskan bahwa pengetahuan adalah konstruksi sosial yang tidak netral dan selalu dipengaruhi oleh bahasa, budaya, dan kekuasaan.

Namun, di abad ke-21, muncul konteks baru yang belum sepenuhnya terpetakan oleh filsafat klasik: era digital. Di sini, sumber pengetahuan bukan lagi individu yang berpikir secara rasional, melainkan jaringan informasi global yang diatur oleh algoritma. Mesin pencari, media sosial, dan sistem rekomendasi membentuk lanskap epistemik baru di mana tindakan klik menjadi titik awal (dan sering kali akhir) dari proses mengetahui. 

Maka lahirlah bentuk epistemologi baru yang tidak lagi berpusat pada subjek rasional, melainkan pada subjek digital — manusia yang berpikir, memilih, dan mempercayai sesuatu berdasarkan interaksi dengan mesin dan jaringan.

Makna dan Karakteristik Epistemologi Klik

Epistemologi klik dapat didefinisikan sebagai: cara mengetahui yang terbentuk oleh mekanisme digital, di mana pengetahuan diperoleh, disebarkan, dan divalidasi melalui interaksi berbasis klik—simbol dari kecepatan, popularitas, dan keterjangkauan algoritmik.

Dalam epistemologi klik, tindakan mengetahui direduksi menjadi tindakan memilih tautan, membuka laman, atau mengonsumsi potongan informasi. Kebenaran tidak lagi diukur oleh validitas logis atau bukti empiris, melainkan oleh seberapa sering sesuatu diklik, dibagikan, dan disukai.

Ada tiga karakteristik utama epistemologi klik:

  1. Instanitas Pengetahuan. Pengetahuan hadir secara cepat, seketika, dan tanpa mediasi reflektif. Di masa lalu, mengetahui sesuatu memerlukan proses — membaca buku, berdiskusi, menguji argumen. Kini, proses itu digantikan oleh klik. Pengetahuan menjadi produk konsumsi, bukan hasil kontemplasi. Akibatnya, terjadi defisit kedalaman: manusia tahu banyak hal, tetapi sedikit yang benar-benar dipahami.
  2. Algoritmisasi Kebenaran. Apa yang muncul di layar kita bukanlah hasil pencarian bebas, melainkan hasil kurasi algoritma. Mesin menentukan apa yang “layak diketahui” berdasarkan pola klik dan preferensi pengguna. Dengan demikian, realitas epistemik kita disusun oleh sistem yang tidak netral — sistem yang tunduk pada logika ekonomi perhatian (attention economy). Kebenaran menjadi sesuatu yang dapat dioptimalkan secara digital.
  3. Sosialisasi Kebenaran. Dalam ruang digital, kebenaran bersifat sosial. Sebuah informasi dianggap benar karena disetujui, dibagikan, atau diviralkan oleh banyak orang. Kesepakatan sosial dalam ruang maya menggantikan proses verifikasi ilmiah. Kebenaran menjadi produk konsensus populer, bukan hasil pertimbangan epistemik. Fenomena fact-free politics dan echo chamber adalah contoh konkret bagaimana epistemologi klik bekerja dalam ruang publik.

Implikasi Epistemologis dan Sosial

Peralihan dari epistemologi klasik ke epistemologi klik membawa dampak luas bagi kehidupan intelektual dan sosial.

Pertama, terjadi erosinya kedalaman berpikir. Ketika pengetahuan menjadi instan, refleksi menjadi langka. Pikiran manusia kehilangan ruang untuk merenung karena terus dibombardir oleh arus informasi baru. Dalam istilah Byung-Chul Han, kita hidup dalam “masyarakat kejenuhan informasi” (information fatigue society), di mana pengetahuan melimpah tetapi makna mengering.

Kedua, muncul fragmentasi pengetahuan. Informasi yang dikonsumsi melalui klik bersifat terpisah-pisah, tidak utuh, dan sering tanpa konteks. Akibatnya, manusia sulit membangun struktur pengetahuan yang koheren. Dunia menjadi mosaik data, bukan sistem pemahaman.

Ketiga, terjadi disorientasi kebenaran. Dalam epistemologi klik, yang sering dilihat bukan yang paling benar, tetapi yang paling sering tampil. Visibility menggantikan veracity. Fenomena hoaks dan disinformasi tumbuh subur karena sistem digital tidak dirancang untuk mencari kebenaran, melainkan untuk memaksimalkan perhatian.

Keempat, terjadi krisis otoritas epistemik. Dahulu, sumber kebenaran datang dari ilmuwan, akademisi, atau lembaga pendidikan. Kini, siapa pun yang mampu menarik perhatian dapat menjadi sumber pengetahuan. Popularitas menggantikan kompetensi. Otoritas ilmiah kehilangan posisi istimewanya di tengah demokratisasi digital.

Meski demikian, epistemologi klik tidak harus dilihat semata-mata sebagai ancaman. Ia juga mencerminkan transformasi besar dalam sejarah pengetahuan manusia. Setiap perubahan teknologi selalu memunculkan bentuk epistemologi baru: dari oralitas ke tulisan, dari tulisan ke cetak, dari cetak ke digital. Dalam konteks ini, klik adalah simbol dari fase terbaru evolusi pengetahuan.

Tantangannya adalah bagaimana mengarahkan epistemologi klik agar tidak menjadi perangkap instanitas, tetapi menjadi gerbang menuju pengetahuan kritis. Untuk itu, dibutuhkan literasi epistemik digital — kemampuan memahami bahwa apa yang muncul di layar bukan kebenaran itu sendiri, melainkan hasil konstruksi sistemik yang perlu diuji. Kesadaran ini dapat memulihkan fungsi refleksi dalam dunia yang serba cepat.

Selain itu, epistemologi klik membuka peluang bagi demokratisasi pengetahuan. Informasi yang dulu hanya dimiliki segelintir orang kini dapat diakses oleh siapa pun. Jika dimanfaatkan dengan kesadaran kritis, klik dapat menjadi langkah awal menuju dialog pengetahuan yang lebih inklusif. Namun, tanpa kesadaran epistemologis, klik hanya akan memperdalam ilusi mengetahui tanpa memahami.

Penutup

Epistemologi klik menandai babak baru dalam sejarah pengetahuan manusia. Ia menggambarkan pergeseran dari kedalaman menuju kecepatan, dari refleksi menuju konsumsi, dari kebenaran menuju popularitas. Dalam dunia digital, klik telah menjadi tindakan epistemik — cara baru manusia mengetahui, sekaligus melupakan bagaimana seharusnya pengetahuan dijalani.

Tugas filsafat ilmu hari ini bukan menolak perubahan itu, melainkan menafsirkannya secara kritis. Kita perlu membangun epistemologi baru yang tidak hanya memahami bagaimana manusia mengklik, tetapi juga bagaimana manusia dapat berpikir setelah mengklik. Hanya dengan begitu, epistemologi klik dapat menjadi bukan sekadar cermin dari krisis pengetahuan modern, melainkan titik berangkat menuju kesadaran baru: kesadaran bahwa di balik setiap klik, selalu ada tanggung jawab untuk berpikir.

Madatte 07 September 2025






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswi Komunikasi Unasman Raih Juara 1 Lomba Karya Ilmiah HUT Lalu Lintas Bayangkara Ke-69

HMTI Unasman Selenggarakan Malam Inagurasi Enc24ption Angkatan 24

MTs Ma'arif NU Pulau Salamaq Semarakkan HUT RI ke-80 dengan Penuh Antusias